Selamat Datang di Ady_Dech Blogger

gi masih dalam pembangunan nich

Kamis, 16 Desember 2010

ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS PADA PASIEN DENGAN TUBERCULOSIS PARU

BAB II
KAJIAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Konsep Diri
1. Pengertian Konsep Diri
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart dan Sudeen, 1998). Hal ini temasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya.
Sedangkan menurut Beck, Willian dan Rawlin (1986) menyatakan bahwa konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, baik fisikal, emosional intelektual , sosial dan spiritual.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri
Menurut Stuart dan Sudeen ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri. Faktor-foktor tersebut terdiri dari teori perkembangan, Significant Other (orang yang terpenting atau yang terdekat) dan Self Perception (persepsi diri sendiri).
a. Teori perkembangan.
Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain. Dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan diri yang terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pangalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang nyata.
b. Significant Other ( orang yang terpenting atau yang terdekat )
Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri merupakan interprestasi diri pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang yang dekat, remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya dan sosialisasi.
c. Self Perception ( persepsi diri sendiri )
Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Sehingga konsep merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari prilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu.
Menurut Stuart dan Sundeen Penilaian tentang konsep diri dapat di lihat berdasarkan rentang rentang respon konsep diri yaitu:

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kekacauan Depersonalisasi
diri positif Rendah Identitas

Gambar 1
Rentang Respon Konsep Diri

3. Pembagian Konsep Diri
Konsep diri terbagi menjadi beberapa bagian. Pembagian Konsep diri tersebut di kemukakan oleh Stuart and Sundeen ( 1991 ), yang terdiri dari :
a. Gambaran diri ( Body Image )
Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap individu (Stuart and Sundeen , 1991).
Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima stimulus dari orang lain, kemudian mulai memanipulasi lingkungan dan mulai sadar dirinya terpisah dari lingkungan ( Keliat ,1992 ).
Gambaran diri ( Body Image ) berhubungan dengan kepribadian. Cara individu memandang dirinya mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologinya. Pandangan yang realistis terhadap dirinya menerima dan mengukur bagian tubuhnya akan lebih rasa aman, sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri (Keliat, 1992).
Individu yang stabil, realistis dan konsisten terhadap gambaran dirinya akan memperlihatkan kemampuan yang mantap terhadap realisasi yang akan memacu sukses dalam kehidupan.
Banyak Faktor dapat yang mempengaruhi gambaran diri seseorang, seperti, munculnya Stresor yang dapat menggangu integrasi gambaran diri. Stresor-stresor tersebut dapat berupa :
1) Operasi.
Seperti : mastektomi, amputsi, luka operasi yang semuanya mengubah gambaran diri. Demikian pula tindakan koreksi seperti operasi plastik, protesa dan lain –lain.
2) Kegagalan fungsi tubuh.
Seperti hemiplegi, buta, tuli dapat mengakibatkan depersonlisasi yaitu tidak mengakui atau asing dengan bagian tubuh, sering berkaitan dengan fungsi saraf.
3) Waham yang berkaitan dengan bentuk dan fungsi tubuh
Seperti sering terjadi pada klien gangguan jiwa, klien mempersiapkan penampilan dan pergerakan tubuh sangat berbeda dengan kenyataan.
4) Tergantung pada mesin.
Seperti : klien intensif care yang memandang imobilisasi sebagai tantangan, akibatnya sukar mendapatkan informasi umpan balik engan penggunaan lntensif care dipandang sebagai gangguan.
5) Perubahan tubuh berkaitan
Hal ini berkaitan dengan tumbuh kembang dimana seseorang akan merasakan perubahan pada dirinya seiring dengan bertambahnya usia Tidak jarang seseorang menanggapinya dengan respon negatif dan positif. Ketidakpuasan juga dirasakan seseorang jika didapati perubahan tubuh yang tidak ideal.
6) Umpan balik interpersonal yang negatif
Umpan balik ini adanya tanggapan yang tidak baik berupa celaan, makian sehingga dapat membuat seseorang menarik diri.
7) Standard sosial budaya.
Hal ini berkaitan dengan kultur sosial budaya yang berbeda-setiap pada setiap orang dan keterbatasannya serta keterbelakangan dari budaya tersebut menyebabkan pengaruh pada gambaran diri individu, seperti adanya perasaan minder.
Beberapa gangguan pada gambaran diri tersebut dapat menunjukan tanda dan gejala, seperti :
1) Syok Psikologis.
Syok Psikologis merupakan reaksi emosional terhadap dampak perubahan dan dapat terjadi pada saat pertama tindakan.syok psikologis digunakan sebagai reaksi terhadap ansietas. Informasi yang terlalu banyak dan kenyataan perubahan tubuh membuat klien menggunakan mekanisme pertahanan diri seperti mengingkari, menolak dan proyeksi untuk mempertahankan keseimbangan diri.
2) Menarik diri.
Klien menjadi sadar akan kenyataan, ingin lari dari kenyataan, tetapi karena tidak mungkin maka klien lari atau menghindar secara emosional. Klien menjadi pasif, tergantung, tidak ada motivasi dan keinginan untuk berperan dalam perawatannya.
3) Penerimaan atau pengakuan secara bertahap.
Setelah klien sadar akan kenyataan maka respon kehilangan atau berduka muncul. Setelah fase ini klien mulai melakukan reintegrasi dengan gambaran diri yang baru.
Tanda dan gejala dari gangguan gambaran diri di atas adalah proses yang adaptif, jika tampak gejala dan tanda-tanda berikut secara menetap maka respon: 1). Menolak untuk melihat dan menyentuh bagian yang berubah; 2). Tidak dapat menerima perubahan struktur dan fungsi tubuh; 3). Mengurangi kontak sosial sehingga terjadi menarik diri; 4). Perasaan atau pandangan negatif terhadap tubuh; 5) Preokupasi dengan bagian tubuh atau fungsi tubuh yang hilang; 6). Mengungkapkan keputusasaan; 7). Mengungkapkan ketakutan ditolak. 8). Depersonalisasi; 9). Menolak penjelasan tentang perubahan tubuh.
b. Ideal Diri.
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku berdasarkan standart, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu (Stuart and Sundeen ,1991).
Standart dapat berhubungan dengan tipe orang yang akan diinginkan atau sejumlah aspirasi, cita-cita, nilai-nilai yang ingin di capai. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita, nilai-nilai yang ingin dicapai. Ideal diri akan mewujudkan cita– cita dan harapan pribadi berdasarkan norma sosial (keluarga budaya) dan kepada siapa ingin dilakukan .
Ideal diri mulai berkembang pada masa kanak–kanak yang di pengaruhi orang yang penting pada dirinya yang memberikan keuntungan dan harapan pada masa remaja ideal diri akan di bentuk melalui proses identifikasi pada orang tua, guru dan teman.
Menurut Ana Keliat ( 1998 ) ada beberapa faktor yang mempengaruhi ideal diri yaitu : 1). Kecenderungan individu menetapkan ideal pada batas kemampuannya; 2). Faktor budaya akan mempengaruhi individu menetapkan ideal diri; 3). Ambisi dan keinginan untuk melebihi dan berhasil, kebutuhan yang realistis, keinginan untuk mengklaim diri dari kegagalan, perasan cemas dan rendah diri.; 4). Kebutuhan yang realistis; 5). Keinginan untuk menghindari kegagalan; 6). Perasaan cemas dan rendah diri.
Agar individu mampu berfungsi dan mendemonstrasikan kecocokan antara persepsi diri dan ideal diri. Ideal diri ini hendaknya ditetapkan tidak terlalu tinggi, tetapi masih lebih tinggi dari kemampuan agar tetap menjadi pendorong dan masih dapat dicapai (Keliat, 1992 ).
c. Harga diri .
Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh prilaku memenuhi ideal diri (Stuart and Sundeen, 1991).
Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu sering gagal , maka cenderung harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah di cintai dan menerima penghargaan dari orang lain (Keliat, 1992).
Biasanya harga diri sangat rentan terganggu pada saat remaja dan usia lanjut. Dari hasil riset ditemukan bahwa masalah kesehatan fisik mengakibatkan harga diri rendah. Harga diri tinggi terkait dengam ansietas yang rendah, efektif dalam kelompok dan diterima oleh orang lain. Sedangkan harga diri rendah terkait dengan hubungan interpersonal yang buruk dan resiko terjadi depresi dan skizofrenia.
Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri. Harga diri rendah dapat terjadi secara situasional ( trauma ) atau kronis ( negative self evaluasi yang telah berlangsung lama ). Dan dapat di ekspresikan secara langsung atau tidak langsung (nyata atau tidak nyata).
Menurut beberapa ahli dikemukakan faktor-Fator yang mempengaruhi gangguan harga diri, seperti :
1) Perkembangan individu.
Faktor predisposisi dapat dimulai sejak masih bayi, seperti penolakan orang tua menyebabkan anak merasa tidak dicintai dan mengkibatkan anak gagal mencintai dirinya dan akan gagal untuk mencintai orang lain.
Pada saat anak berkembang lebih besar, anak mengalami kurangnya pengakuan dan pujian dari orang tua dan orang yang dekat atau penting baginya. Ia merasa tidak adekuat karena selalu tidak dipercaya untuk mandiri, memutuskan sendiri akan bertanggung jawab terhadap prilakunya. Sikap orang tua yang terlalu mengatur dan mengontrol, membuat anak merasa tidak berguna.
2) Ideal Diri tidak realistis.
Individu yang selalu dituntut untuk berhasil akan merasa tidak punya hak untuk gagal dan berbuat kesalahan. Ia membuat standart yang tidak dapat dicapai, seperti cita – cita yang terlalu tinggi dan tidak realistis. Yang pada kenyataan tidak dapat dicapai membuat individu menghukum diri sendiri dan akhirnya percaya diri akan hilang.
3) Gangguan fisik dan mental
Gangguan ini dapat membuat individu dan keluarga merasa rendah diri.
4) Sistim keluarga yang tidak berfungsi.
Orang tua yang mempunyai harga diri yang rendah tidak mampu membangun harga diri anak dengan baik. Orang tua memberi umpan balik yang negatif dan berulang-ulang akan merusak harga diri anak. Harga diri anak akan terganggu jika kemampuan menyelesaikan masalahtidak adekuat. Akhirnya anak memandang negatif terhadap pengalaman dan kemampuan di lingkungannya.
5) Pengalaman traumatik yang berulang, misalnya akibat aniaya fisik, emosi dan seksual.
Penganiayaan yang dialami dapat berupa penganiayaan fisik, emosi, peperangan, bencana alam, kecelakan atau perampokan. Individu merasa tidak mampu mengontrol lingkungan. Respon atau strategi untuk menghadapi trauma umumnya mengingkari trauma, mengubah arti trauma, respon yang biasa efektif terganggu. Akibatnya koping yang biasa berkembang adalah depresi dan denial pada trauma.
d. Peran.
Peran adalah sikap dan perilaku nilai serta tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat ( Keliat, 1992 ). Peran yang ditetapkan adalah peran dimana seseorang tidak punya pilihan, sedangkan peran yang diterima adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh individu. Posisi dibutuhkan oleh individu sebagai aktualisasi diri.
Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan ideal diri. Posisi di masyarakat dapat merupakan stresor terhadap peran karena struktur sosial yang menimbulkan kesukaran, tuntutan serta posisi yang tidak mungkin dilaksanakan ( Keliat, 1992 ).
Stress peran terdiri dari konflik peran yang tidak jelas dan peran yang tidak sesuai atau peran yang terlalu banyak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam menyesuaikan diri dengan peran yang harus di lakukan menurut Stuart and sunden, 1998 adalah; 1). Kejelasan prilaku dengan penghargaan yang sesuai dengan peran; 2). Konsisten respon orang yang berarti terhadap peran yang dilakukan; 3). Kesesuain dan keseimbangan antara peran yang di emban; 4). Keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran; 5). Pemisahan situasi yang akan menciptakan ketidak sesuain perilaku peran.
Menurut Stuart and Sundden Penyesuaian individu terhadap perannya di pengaruhi oleh beberapan faktor, yaitu: 1). Kejelasan prilaku yang sesuai dengan perannya serta pengetahuan yang spesifik tentang peran yang diharapkan; 2). Konsistensi respon orang yang berarti atau dekat dengan peranannya; 3). Kejelasan budaya dan harapannya terhadap prilaku perannya; 4). Pemisahan situasi yang dapat menciptakan ketidak selarasan
Sepanjang kehidupan individu sering menghadapi perubahan-perubahan peran, baik yang sifatnya menetap atau sementara yang sifatnya dapat karena situasional. Hal ini, biasanya disebut dengan transisi peran. Transisi peran tersebut dapat di kategorikan menjadi beberapa bagian, seperti :
1) Transisi Perkembangan.
Setiap perkembangan dapat menimbulkan ancaman pada identitas. Setiap perkembangan harus di lalui individu dengan menjelaskan tugas perkembangan yang berbeda – beda. Hal ini dapat merupakan stresor bagi konsep diri.
2) Transisi Situasi.
Transisi situasi terjadi sepanjang daur kehidupan, bertambah atau berkurang orang yang berarti melalui kelahiran atau kematian, misalnya status sendiri menjadi berdua atau menjadi orang tua. Perubahan status menyebabkan perubahan peran yang dapat menimbulkan ketegangan peran yaitu konflik peran, peran tidak jelas atau peran berlebihan.
3) Transisi sehat sakit.
Stresor pada tubuh dapat menyebabkan gangguan gambaran diri dan berakibat diri dan berakibat perubahan konsep diri. Perubahan tubuh dapat mempengaruhi semua kompoen konsep diri yaitu gambaran diri, identitas diri peran dan harga diri. Masalah konsep diri dapat di cetuskan oleh faktor psikologis, sosiologi atau fisiologi, namun yang penting adalah persepsi klien terhadap ancaman.
Selain itu dapat saja terjadi berbagai gangguan peran, penyebab atau faktor-faktor ganguan peran tersebut dapat di akibatkan oleh; 1). Konflik peran interpersonal Individu dan lingkungan tidak mempunyai harapan peran yang selaras; 2). Contoh peran yang tidak adekuat; 3). Kehilangan hubungan yang penting; 4). Perubahan peran seksual; 5). Keragu-raguan peran; 6). Perubahan kemampuan fisik untuk menampilkan peran sehubungan dengan proses menua; 7). Kurangnya kejelasan peran atau pengertian tentang peran; 8). Ketergantungan obat; 9). Kurangnya keterampilan social; 10). Perbedaan budaya; 11). Harga diri rendah; 12). Konflik antar peran yang sekaligus di perankan.
Gangguan-gangguan peran yang terjadi tersebut dapat ditandai dengan tanda dan gejala, seperti; 1). Mengungkapkan ketidakpuasan perannya atau kemampuan menampilkan peran; 2). Mengingkari atau menghindari peran; 3). Kegagalan trnsisi peran; 4). Ketegangan peran;5). Kemunduran pola tanggungjawab yang biasa dalam peran; 6). Proses berkabung yang tidak berfungsi; 7). Kejenuhan pekerjaan.
e. Identitas
Identitas adalah kesadarn akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh (Stuart and Sudeen, 1991).
Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan yang memandang dirinya berbeda dengan orang lain. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (aspek diri sendiri), kemampuan dan penyesuaian diri.
Seseorang yang mandiri dapat mengatur dan menerima dirinya. Identitas diri terus berkembang sejak masa kanak-kanak bersamaan dengan perkembangan konsep diri. Hal yang penting dalam identitas adalah jenis kelamin (Keliat,1992). Identitas jenis kelamin berkembang sejak lahir secara bertahap dimulai dengan konsep laki-laki dan wanita banyak dipengaruhi oleh pandangan dan perlakuan masyarakat terhadap masing-masing jenis kelamin tersebut.
Perasaan dan prilaku yang kuat akan indentitas diri individu dapat ditandai dengan:
1) Memandang dirinya secara unik
2) Merasakan dirinya berbeda dengan orang lain
3) Merasakan otonomi : menghargai diri, percaya diri, mampu diri, menerima diri dan dapat mengontrol diri.
4) Mempunyai persepsi tentang gambaran diri, peran dan konsep diri
Karakteristik identitas diri dapat dimunculkan dari prilaku dan perasaan seseorang, seperti :
1) Individu mengenal dirinya sebagai makhluk yang terpisah dan berbeda dengan orang lain
2) Individu mengakui atau menyadari jenis seksualnya
3) Individu mengakui dan menghargai berbagai aspek tentang dirinya, peran, nilai dan prilaku secara harmonis
4) Individu mengaku dan menghargai diri sendiri sesuai dengan penghargaan lingkungan sosialnya
5) Individu sadar akan hubungan masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang
6) Individu mempunyai tujuan yang dapat dicapai dan di realisasikan (Meler dikutip Stuart and Sudeen, 1991)

B. Konsep Dasar Isolasi Isosial
1. Pengertian
Isolasi sosial adalah Suatu pengalaman menyendiri dari seseorang dan perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan yang mengancam (Standar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa, 2006).
Isolasi sosial adalah pengalaman kesendirian secara individu dan dirasakan segan terhadap orang lain dan sebagai keadaan yang negatif atau mengancam (NANDA 2005-2006).
Isolasi adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak ( Carpenito, 1998 ).
Perilaku menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,menghindari hubungan dengan orang lain. (Rawlins, 1993 dikutip oleh budi anna keliat 1999 ).
Menarik diri adalah sutu pola tingkah laku menghindari kontak dengan orang, situasi atau lingkungan yang penuh dengan stress yang dapat menyebabkan kecemasan fisik dan psikologi. ( FIK.UI, 2007 ).
Menarik diri adalah suatu keadaan pasien yang mengalami ketidak mampuan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain atau dilingkungan sekitarnya secara wajar. (Mahnum, 2001).
2. Etiologi
Isolasi sosial atau menarik diri sering disebabkan oleh karena kurangnya rasa percaya pada orang lain, perasaan panik, regresi ke tahap perkembangan sebelumnya, waham, sukar berinteraksi dimasa lampau, perkembangan ego yang lemah serta represi rasa takut (Townsend, M.C,1998).
Menurut Stuart, G.W & Sundeen, S,J (1998) Isolasi sosial disebabkan oleh gangguan konsep diri rendah.
Menurut Budi Anna Keliat (1999) yaitu salah satu penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan. yang ditandai dengan: a. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit (rambut botak karena terapi); b. Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri); c. Gangguan hubungan sosial (menarik diri); d. Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan); e. Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
3. Proses Terjadinya Isolasi Sosial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku menarik diri adalah kegagalan perkembangan yang dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, ragu takut salah, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan meresa tertekan. Sedangkan faktor presipitasi dari faktor sosio - kultural karena menurunnya stabilitas keluarga dan berpisah karena meninggal dan fakto psikologis seperti berpisah dengan orang yang terdekat atau kegagalan orang lain untuk bergantung, merasa tidak berarti dalam keluarga sehingga menyebabkan klien berespons menghindar dengan menarik diri dari lingkungan (Stuart and sundeen, 1995).
a. Faktor Predisposisi
1) Teori Biologikal dan hubungannya dengan menarik diri
a) Genetik
Transmisi gangguan alam perasaan yang membuat perasaan sedih dan individu merasa tak pantas berada ditengah lingkungan sosialnya. Keadaan ini diteruskan melalui garis keturunan. Frekuensi gangguan alam perasaan meningkat pada kembar monozigot dibanding dizigot walaupun diasuh secara terpisah

b) Neurotransmitter
(1) Katekolamin : Penurunan relatif dari katekolamin otak atau aktifitas sistem katekolamin menyebabkan timbulnya depresi dan berusaha menghindari lingkungan sosial; (2) Asetilkolin : Suatu peningkatan aktifitas kolinergik dapat menjadi faktor penyebab dan berusaha menghindasi lingkungan sosial.; (3) Serotonin : Suatu defisit pada sistem serotoninergik dapat merupakan faktor penyebab dari depresi dan berusaha menghindasi lingkungan sosial.
c) Endokrin
Keadaan sedih berkaitan dengan gannguan hormon seperti pada hipotiroidisme dan hipertirodisme, terapi estrogen eksogen, dan post partum.
d) Kronobiologi
Gangguan dari ritme sirkadian.
2) Teori Psikologikal dan hubungannya dengan menarik diri
Uraian teori psikologikal dan hubungannya dengan menarik diri yang dipaparkan disini lebih spesifik berdasarkan Teori Perkembangan Erik H. Erikson. Menurut Erikson, dalam menuju maturasi psikososial, manusia perlu menjalankan 8 tugas perkembangan (development task) sesuai dengan proses perkembangan usia.
Faktor stimulasi menjadi sangat penting melalui proses belajar menuju maturasi. Untuk mengembangkan hubungan sosial yang positif, setiap tugas perkembangan sepanjang daur kehidupan diharapkan dilalui dengan sukses sehingga kemampuan membina hubungan social dapat menghasilkan kepuasan bagi individu. Sebaliknya tugas perkembangan yang tidak dijalankan dengan baik memberikan implikasi masalah psikososial di kemudian hari, yaitu: (a). Masa bayi/anak usia 0 – 1,5 tahun (konflik basic trust vs mistrust) Bayi sangat bergantung pada orang lain dalam pemenuhan kebutuhan biologis dan psikologisnya. Bayi biasanya berkomunikasi untuk dipenuhi kebutuhannya dengan menangis. Kesediaan ibu secara konsisten untuk memenuhi kebutuhan makan, rasa aman, rasa nyaman dan kehangatan akan berimplikasi pada pemebntukan rasa percaya pada diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Kegagalan ibu dalam memenuhi kebutuhannya akan berimplikasi pada rasa tidak percaya pada diri sendiri, orang lain, lingkungannya dan perilaku menarik diri; (b). Masa anak usia 1,5 – 3 tahun (Conflik otonomy vs shame and doubt).
Pada rentang usia ini, anak mulai menyadari dirinya terpisah dengan orang lain (memiliki otonomi). Anakan mulai berkreasi dalam kebebasan dirinya seperti berlari-lari kian kemari, memegang segala sesuatu yang disukainya, dapat mengendalikan organ-organ tubuhnya dan dapat menyatakan menolak atau menerima sesuatu dari orang lain. Otonomi anak yang berkembang pada tahap ini menuju pada membina hubungan dengan orang lain secara interdependent. Kegagalan anak dalam membina hubungan dengan lingkungannya dan keluarga cenderung membatasi kebebasannya tas dasar pertimbangan yang negatif terhadap lingkungannya (over protective) berimplikasi pada kepribadian anak yang pemalu dan peragu. Pada kondisi lebih lanjut mengakibatkan individu menarik diri dari orang lain dan lingkungannya; (c). Masa anak usia 3 – 6 tahun (Conflik initiative vs guilt) Pada usia ini semakin berkembang rasa inisitatif anak. Anak mulai banyak bertanya secara kritis dan mencoba melakukan tugas tertentu. Inisiatif yang ditunjukkan misalnya mandi sendiri, memebreskan sendiri permainannya, membantu adiknya dan sebagainya. Pada usia ini, anak mulai menghadapi tuntutan normative dari lingkungannya. Hal ini dapat menimbulkan krisis pada anak sehingga akan mengalami kekecewaaan yang selanjutnya menuju pada rasa bersalah yang berlebihan. Sebaliknya jika lingkungannya kondusif maka berimplikasi pada pembentukan kepribadian anak yang berinisiatif. Perilaku yang menunjukkan rasa bersalah yaitu, takut memulai pekerjaan yang baru, meminta maaf secara berlebihan dan menjadi sangat malu hanya karena kesalahan kecil. Pada kondisi lebih lanjut dapat menimbulkan menarik diri; (d). Masa anak usia 6 – 12 tahun (Conflik industry vs inferiority)
Pada usia ini, anak mulai terdorong untuk melaksanakan tugas-tugas yang dihadapinya secara sempurna dan menghasilkan karya-karya tertentu. Pada usia ini anak mulai bersekolah dan memulai menyesuaikan diri dengan aturan-aturan baru di lingkungan sekolah dan keluarga. Dengan bersekolah, anak memulai mengembangkan hubungan interpersonal dengan playgroup nya terutama dengan yang berjenis kelamin sama. Anak mulai mampu menukar kemampuannya, merasakan kegunaannya dan berkesempatan membandingkan dirinya dengan teman sebayanya. Orang tua tidak lagi menjadi atu-satunya sumber identifikasi anak. Anak mulai melihat dan mengagumi orang lain selain orang tua dan temannya. Figur guru sangat menjadi panutan bagi anak sehingga sering kali anak menjadi lebih percaya pada gurunya daripada orang tuanya. Oleh karena itu orang tua dan guru haruslah menjadi figure yang seimbang untuk ditiru anak. Apabila lingkungan (orang tua dan guru) tidak menghargai hasil karya atau usaha anak maka anak akan mengalami ketidakpuasan dalam bekerja dan diliputi perasaan kurang, tidak mampu dan inferior yang ditunjukkan dengan perilaku : Tidak biasa bekerja sama dengan orang lain, tidak mampu mengerjakan tugas dengan tuntas dan tidak mampu mengatur tugas atau pekerjaan. Pada kondisi lebih lanjut mengakibatkan menarik diri; (e). Masa usia 12 – 20 tahun (Conflik identity vs role confusion)
Merupakan usia peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa, yang sering disebut pubertas. Perubahan fisik dan kejiwaan terjadi begitu pesat sehingga dapat mengganggu keseimbangan diri yang sebelumnya sudah tercapai.Secara biologis kemampuan anak sama dengan orang dewasa, namun secara psikosial dianggap masih labil. Mereka dianggap tidak pantas berperilaku seperti anak-anak tetapi lingkungan juga tidak mengakui mereka sebagai orang dewasa. Pada usia ini, remaja mulai menunjukkan identitas dirinya, baik dalam seksual, umur dan pekerjaan. Kelompok teman sebaya menjadi sangat penting bagi remaja. Melalui teman sebaya, remaja dapat mengeksprersikan perasaan, pikiran, memainkan peran dan bereksperimen dengan peran. Dalam kelompok inilah remaja mendapat pengakuan dan merima keberadaannya. Sikap orang tua yang terbuka, mengembangkan komunikasi yang akrab, menghargai pendapat dan pikiran remaja, memberikan kesempatan untuk mengekspresikan diri sebagai sahabat bagi remaja akan sangat membantu remaja dalam memperoleh identitas dirinya. Sikap orang tua dan lingkungan yang tidak mendukung ke arah remaja menemukan identitas dirinya dengan selalau saling bertentangan akan menimbulkan kegagalan perkembangan yaitu terjadi kebingungan peran yang ditunjukkan dengan perilaku tidak mempunyai tujuan hidup yang pasti, tidak mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri dan mengadopsi nilai-nilai orang lain tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu. Pada kondisi lebih lanjut mengakibatkan menarik diri; (f). Masa usia 20 – 40 tahun (Conflik intimacy vs isolation) Tahap ini merupakan tahap perkembangan dewasa awal. Individu mulai bekerja dan meningkatkan hubungan yang khusus dengan lawan jenisnya. Usia ini dapat juga dikatakan sebagai karier dan berumah tangga. Pada usia ini individu biasanya juga sudah terlepas dari orang tuanya sehingga kegagalan maupun kesuksesan dalam tahap perkembangan ini lebih banyak ditentukan oleh dirinya sediri dan pasangan hidupnya daripada orang tuanya. Kegagalan dalam memenuhi perkembangan pada tahap ini mengakibatkan individu merasa terisolasi dan mearik diri. (g). Masa usia 40 – 60 tahun (Conflik generativity vs stagnation) Usia 40 – 60 tahun merupakan usia ketika seseorang mengalami titik karir puncak. Pada usia ini, individu akan menghasilkan sesuatu yang dapat ditawarkan kepada keturunannya. Dapat berupa tulisan, ide atau pikiran. Individu pada tahap perkembangan ini akan banyak memberikan nasihat dan pengarahan. Kegagalan pada tahap perkembangan ini berakibat individu mengalami stagnasi dimana individu lebih banyak menceritakan dirinya sendiri daripada mendengarkan orang lain. Implikasinya terhadap perkembangan psikososial dimana individu akan dijauhi dan menjauhkan diri dari orang lain dan lingkungannya yang disebut dengan menarik diri. (h). Masa usia 65 tahun keatas.
Masa ini, individu akan mengalami masa kepuasan dan ketidakpuasan dalam kehidupannya. Bila dalam tahap perkembangan sebelumnya individu mengalami kepuasan dan siap mengalami penurunan fungsi hidupnya bahkan kematian. Hal ini disebut dengan individu telah mencapai integritas diri. Kegagalan pada usia ini, mengakibatkan individu akan mengalami keputusasaan hidup atau despair dengan berperilaku menangis dan apatis, sulit menerima perubahan dan sangat bergantung pada orang lain (tidak mandiri). Jika tidak mendapatkan perhatian mengakibatkan individu menarik diri dari orang lain dan lingkungan.
3) Teori sosiokultural dan hubungannya dengan menarik diri.
Menurut Kartini Kartono (1999, dikutip oleh Sunaryo, 2004) menyebutkan bahwa timbulnya gangguan mental/gangguan jiwa ditinjau dari factor sosial-budaya atau sisio-kultural sebagai berikut: (a). Konflik dengan standar social dan norma etis. Gangguan mental dapat terjadi karena individu tidak mampu berperilaku sesuai dengan standar sosial dan norma etik yang berlaku sehingga dalam kehidupan sosial akan terjadi benturan dengan masyarakat yang menganut standar sosial dan norma etik tertentu. Prinsip ini erat kaitannya dengan stress adaptasi yang menurut Suliswati, dkk. (2005) menyebutkan bahwa stress disebabkan oleh perubahan-perubahan diantaranya perubahan nilai budaya, perubahan sistem kemasyarakatan dan pekerjaan yang mengakibatkan gangguan keseimbangan mental-emosional karena gangguan produktivitas dan kehidupan seseorang menjadi tidak efesien. Kondisi ini berpengaruh terhadap respons menarik diri seseorang; (b). Overproteksion orang tua
Akibat dari overproteksi atau perlindungan orang tua yang berlebihan terhadap anak mengakibatkan anak menjadi tidak mandiri, tidak percaya diri, tidak memiliki harga diri, ragu-ragu dan tidak memiliki kreativitas dan inisiatif. Dengan demikian mentalitas anak menjadi rapuh sehingga dapat diasumsikan bahwa lama kelamaan individu akan menarik diri dari orang lain dan lingkungan; (c). Anak yang ditolak atau tidak diterima dalam kelahirannya (rejected child). Sering terjadi pada pasangan suami-isteri yang belum dewasa secara psikis sehingga pada saat hamil dan melahirkan cenderung menolak atau tidak mau bertanggung jawab sebagai ayah dan ibu yang baik (tidak cukup memberikan kasih sayang). Hal ini dapat membentuk pribadi anak yang labil, mentalitas yang rapuh karena tidak percaya diri, tidak meiliki harga diri dan curiga sehingga dapat menimbulkan menarik diri dari hubungan social; (d). Kondisi broken home
Keluarga yang broken home mengakibatkan anak mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan, hati yang kacau, bingung, sedih, hidup terombang-ambing antara kasih sayang dan kekecewaan terhadap orang tua. Selanjutnya anak menjadi mudah tersinggung, kesedihan yang berlebihan, putus asa, merasa terhina dan merasa berdosa. Perilaku anak akan menyimpang dari norma social seperti agresif, sadistic, kriminal dan psikopatis. Kondisi ini mengakibatkan individu dijauhi atau menjauhkan diri dari orang lain dan lingkungan social; (e). Konflik budaya
Pertemuan budaya antara daerah atau suku bangsa yang satu dengan lainnya membutuhkan saling pengertian dan adaptasi sosial. Apabila terjadi konflik budaya dapat menimbulkan kecemasan, ketakutan dan kehidupan perasaan semakin datar, dingin dan beku. Dampak yang terjadi adalah perilaku yang menyimpang seperti tindakan kejahatan, kekalutan bathin dan stress psikososial. Kesemuaannya itu akan membawa individu pada kondisi menarik diri dari hubungan sosial; (f). Lingkungan sekolah yang tidak kondusif. Lingkungan sekolah yang tidak kondusif seperti temperamen guru yang kejam, aktivitas peserta didik yang tertekan, bangunan tidak memenuhi syarat, tidak memiliki tempat rekreasi, dan sebagainya berimplikasi terhadap gangguan emosi anak serta konflik yang menjurus pada gangguan psikososial. Anak menjadi minder, tidak ada kebanggaan diri dan menurunnya kreatifitas sehingga berdampak pada harga diri yang rendah sehingga mengakibatkan menarik diri dari hubungan sosialnya; (g). Cacat jasmaniah. Anak yang cacat jasmani cenderung merasa malu, minder, dibayangi ketakutan, keragu-raguan akan masa depannya sehingga menimbulkan harga diri rendah yang menjurus pada menarik diri; (h). Motif kemewahan materi atau finansial. Dewasa ini orang berlomba-lomba untuk memperoleh kemewahan material atau finansial. Kebahagiaan hidup diukur dari suksesnya sesorang menduduki jabatan tinggi, status sosial dan sukses finansial. Keadaan seperti ini menggiring orang untuk melakukan penyimpangan atau mendapatkan materi dengan cara yang tidak halal. Orang menjadi gelisah dan cemas karena bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianutnya. Atau pada kondisi lain, pendapatan kecil tetapi ambisinya besar untuk sukses finansial, akibatnya timbul ketegangan batin dan ketakutan. Karena ukuran hidupnya/harga dirinya adalah sukses finansial, sementara kenyataannya tidak sesuai dengan harapan maka individu merasa renhdah diri atau martabatnya menurun. Akibatnya menjauhkan diri dari hubungan social dan lingkungan.
b. Stresor Presipitasi
1) Faktor Nature (alamiah)
Secara alamiah, manusia merupakan makhluk holistic yang terdiri dari dimensi bio-psiko-sosial dan spiritual (Dadang Hawari, 2002). Oleh karena itu meskipun stressor presipitasi yang sama tetapi apakah berdampak pada gangguan jiwa atau kondisi psikososial tertentu yang maladaptive dari individu, sangat bergantung pada ketahanan holistic individu tersebut (W.F. Maramis, 1998).
2) Faktor Origin (sumber presipitasi)
Demikian juga dengan factor sumber presipitasi, baik internal maupun eksternal yang berdampak pada psikososial seseorang. Hal ini karena manusia bersifat unik.
3) Faktor Timing
Setiap stressor yang berdampak pada trauma psikologis seseorang yang berimplikasi pada gangguan jiwa sangat ditentukan oleh kapan terjadinya stressor, berapa lama dan frekuensi stressor (PPDGJ-III, 2000).

4) Faktor Number (Banyaknya stressor)
Demikian juga dengan stressor yang berimplikasi pada kondisi gangguan jiwa sangat ditentukan oleh banyaknya stressor pada kurun waktu tertentu. Misalnya, baru saja suami meninggal, seminggu kemudian anak mengalami cacad permanen karena kecelakaan lalu lintas, lalu sebulan kemudian ibu kena PHK dari tempat kerjanya (Luh Ketut Suryani, 2005).
5) Appraisal of Stressor (cara menilai predisposisi dan presipitasi)
Pandangan setiap individu terhadap factor predisposisi dan presipitasi yang dialami sangat tergantung pada : (a). Faktor kognitif : Berhubungan dengan tingkat pendidikan, luasnya pengetahuan dan pengalaman; (b). Faktor Afektif : Berhubungan dengan tipe kepribadian seseorang. Menurut tipologi kepribadian C.G. Jung (dikutip oleh Sunaryo, 2004), menyebutkan bahwa tipe kepribadian introvert bersifat: Tertutup, suka memikirkan diri sendiri, tidak terpengaruh pujian, banyak fantasi, tidak tahan keritik, mudah tersinggung, menahan ekspresi emosinya, sukar bergaul, sukar dimengerti orang lain, suka membesarkan kesalahannya dan suka keritik terhadap diri sendiri.Tipe kepribadian extrovert bersifat : Terbuka, licah dalam pergaulan, riang, ramah, mudah berhubungan dengan orang lain, melihat realitas dan keharusan, kebal terhadap keritik, ekspresi emosinya spontan, tidak begitu merasakan kegagalan dan tidak banyak mengeritik diri sendiri. Tipe kepribadian ambivert dimana seseorang memiliki kedua tipe kepribadian dasar tersebut sehingga sulit untuk menggolongkan dalam salah satu tipe; (c). Faktor Physiological
Menurut Suhartono Taat Putra (2005), kondisi fisik seperti status nutrisi, status kesehatan fisik, faktor kecacadan atau kesempurnaan fisik sangat berpengaruh bagi penilaian seseorang terhadap stressor predisposisi dan presipitasi; (d). Faktor Bahavioral. Pada dasarnya perilaku seseorang turut mempengaruhi nilai, keyakinan, sikap dan keputusannya (Bimo Walgito, 1989). Oleh karena itu, faktor perilaku turut berperan pada seseorang dalam menilai factor predisposisi dan presipitasi yang dihadapinya. Misalnya, seorang peminum alkohol, dalam keadaan mabuk akan lebih emosional dalam menghadapi stressor.Demikian juga dengan perokok atau penjudi, dalam menilai stressor berbeda dengan seseorang yang taat beribadah; (e). Faktor Sosial. Manusia merupakan mahluk sosial yang hidupnya saling bergantung antara satu dengan lainnya. Menurut Luh Ketut Suryani (2005), kehidupan kolektif atau kebersamaan berperan dalam pengambilan keputusan, adopsi nilai, pembelajaran, pertukaran pengalaman dan penyelenggaraan ritualitas. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa fakctor kolektifitas atau kebersamaan berpengaruh terhadap cara menilai stressor predisposisi dan presipitasi.
6) Coping Resources
(a). Personal abilities. Kemampuan seseorang dalam menggunakan koping mekanisme yang konstruktif dalam menghadapi stressor akan lebih meminimalisir dampak negatif dari stressor tersebut.; (b). Social support. Sistem pendukung dalam kehidupan social seseorang sangat penting untuk mengatasi berbagai stressor yang berdampak merugikan. Prinsip 3 A (asuh, asih, asah) dalam pendidikan bagi keluarga merupakan salah satu modal dasar yang bagus untuk dijalankan oleh setiap keluarga. Bentuk lain yang dikenal secara tradisional selama ini seperti gotong royong, silahturahmi, dan sebagainya merupakan sosial support yang bermanfaat; (c). Material assets. Kehidupan manusia tidak terlepas dari dukungan material atau finansial, meskipun hal itu bukan satu-satunya menjamin kebahagiaan hidup. Teori Basic Need Maslow merupakan keharusan untuk dipenuhi terutama kebutuhan pangan, sandang dan papan; (d). Positive beliefs. Suhartono Taat Putra (2005) menyebutkan bahwa cara berpikir yang negatif akan memacu system hormon yang akhirnya banyak menghasilkan radikal bebas dalam tubuh. Oleh karena itu, orang yang berpikir positif akan jauh lebih nyaman, aman dan leluasa untuk berinteraksi dan produktif.
7) Coping Mechanisms
Menurut Tim keperawatan Jiwa FIK-UI (2002), klien menarik diri cenderung menggunakan mekanisme koping : Regresi, represi dan isolasi.
4. Karakteristik Isolasi Sosial
Menurut Standar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa (2006), karakteristik menarik diri, adalah sebagai berikut: menarik diri, tidak komunikatif, mencoba menyendiri, autistik, tidak ada kontak mata, sedih, afek tumpul, perilaku bermusuhan, menyatakan perasaan sepi atau ditolak, kesulitan membina hubungan di lingkungannya, menghindari orang lain, mengungkapkan perasaan tidak dimengerti orang lain.
Selain data yang telah diuraikan diatas, menarik diri dapat ditandai dengan: (NIC & NOC,2005): kehilangan dukungan dari orang terdekat (keluarga, teman atau kelompok), bersuara/berperilaku bermusuhan, menarik diri, tidak ada komunikasi, menunjukan perilaku yang tidak dapat diterima oleh kultur, berusaha sendiri atau keluar dari subkultural, mengulang-ulang tindakkan, tidak ada kontak mata, preokupasi, aktivitas tidak sesuai dengan umur, tanda-tanda keterbelakangan fisik atau mental atau perubahan status kesejahteraan, sedih, afek datar, mengekspresikan perasaan yang menyendiri dari orang lain.
Menurut Standar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa (2006) faktor yang berhubungan dengan masalah menarik diri antara lain: perubahan status mental, ketidakmampuan terlibat dalam hubungan personal, tidak menerima nilai social, tidak menerima perilaku social, tidak adekuatnya sumber pribadi, kurangnya minat.
5. Tanda dan Gejala
Menurut buku panduan diagnosa keperawatan NANDA 2005-2006, isolasi sosial memiliki batasan karakteristik meliputi:
Obyektif :
a. Tidak ada dukungan dari orang yang penting (keluarga, teman, kelompok).
b. Perilaku bermusuhan.
c. Menarik diri.
d. Tidak komunikatif.
e. Menunjukkan perilaku tidak diterima oleh kelompok cultural dominant.
f. Mencari kesendirian atau merasa diakui didalam sub kultur.
g. Senang dengan pikirannya sendiri.
h. Aktivitas berulang atau aktivitas kurang beraktif.
i. Kontak mata tidak ada.
j. Aktivitas tidak sesuai dengan umur perkembangan.
k. Keterbatasan fisik, mental,atau perubahan keadaan sejahtera.
l. Sedih, efek tumpul.
Subyektif :
a. Mengepresikan perasaan kesendirian.
b. Mengepresikan perasaan penolakan.
c. Minat tudak sesuai dengan umur perkembangan.
d. Tujuan hidup tidak ada atau tidak adekuat.
e. Tidak mampu memenuhi harapan orang lain.
f. Ekspresi permintaan tidak sesuai dengan umur perkembangan.
g. Perubahan penampilan fisik.
h. Tidak meresa aman dimasyarakat.
6. Mekanisme Koping
Menurut Tim keperawatan Jiwa FIK-UI (2002), klien menarik diri cenderung menggunakan mekanisme koping:
a. Regresi : Menghindari stress kecemasan dan menampilkan perilaku kemabli setelah kemabli pada perkembangan
b. Represi : Menekan perasaan atau pengalaman yang menyakitkan atau konflik atau ingatan dari kesadaran yang cenderung memperkuat mekanisme ego laiinya.
c. Proyeksi : keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan yang diakukan sendiri.
7. Rentang Respon Halusinasi
Berdasarkan buku keperawatan jiwa menurut Gail W. Stuart, 2006 menyatakan bahwa manusia makhluk sosial, untuk mencapai kepuasan dalam kehidupan, mereka harus membina hubungan interpersonal yang positif. Hubungan intrpersonal terjadi jika hubungan saling merasakan kedekatan sementara identitas pribadi tetap dipertahankan. Individu juga harus membina saling tergantung yang merupakan keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian dalam suatu hubungan. Gail W. Stuart menyatakan tentang respon rentang sosial individu berada dalam rentang respon maladaptif yaitu:
a. Respon adaptif adalah suatu respon individu dalam menyesuaikan masalah yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya yang umum berlaku,respon ini meliputi:
1) Menyendiri (solitude)
Merupakan respons yang dibutuhkan seseorang untuk menentukan apa yang telah dilakukan dilingkungan sosialnya dan suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan langkah selanjutnya.
2) Kebebasan (Otonom)
Kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
3) Berkerja sama (mutualisme)
Suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk saling member dan menerima
4) Saling tergantung (interdependen)
Merupakan kondisi saling tergantung antara individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
b. Respon Antara Adaptif dan Maladaptif
1) Kesepian (Aloness)
Dimana individu mulai merasakan kesepian, terkucilkan dan tersisihkan dari lingkungan.
2) Manipulasi (Manipulation)
Hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang lain dan individu cenderung berorientasi pada diri sendiri atau tujuan bukan pada orang lain.
3) Ketergantungan (Dependence)
Individu mulai tergantung kepada individu yang lain dan mulai tidak memperhatikan kemampuan yang dimilikinya.
c. Respon Maladaptif
Yaitu respon individu dalam penyelesaian masalah yang menyimpang dari norma – norma sosial dan budaya lingkungannya.
1) Kesepian (Loneliness)
Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan dengan orang lain atau tanpa bersama orang lain untuk mencari ketenangan waktu sementara.
2) Pemerasan (Exploitation)
Gangguan yang terjadi dimana seseorang selalu mementingkan keinginannya tanpa memperhatikan orang lain untuk mencari ketenangan pribadi.
3) Menarik Diri (Withdrawl)
Gangguan yang terjadi dimana seseorang menentukan kesulitan dalam membina hubungan saling terbuka dengan orang lain, dimana individu sengaja menghindari hubungan interpersonal ataupun dengan lingkungannya.
4) Curiga (Paranoid)
Gangguan yang terjadi apabila seseorang gagal dalam mengembangkan rasa percaya pada orang lain.

Respon Adaptif Respon Maladaptif




Sumber : Gail W. Stuart, 2006
Gambar 2
Rentang Respon Isolasi Sosial


C. Konsep Dasar Keperawatan Jiwa
Proses keperawatan merupakan suatu metode sistematis dan ilmiah yang digunakan perawat untuk memenuhi kebutuhan klien dalam mencapai atau mempertahankan keadaan biologis, sosial, dan spiritual yang optimal.
Menurut Carpenito (1996) dikutip oleh Keliat (2006), pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan klien, keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Asuhan keperawatan juga menggunakan pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, menentukan masalah atau diagnosa, menyusun rencana tindakan keperawatan, implementasi dan evaluasi.
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dan utama dari proses keperawatan, pengkajian mereflesksikan isi, proses dan informasi yang berhubungan dengan kondisi bilogis, psikologis, sosial dan spiritual klien yang terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan masalah pasien (Keliat, 2006)
a. Pengumpulan Data
Untuk menyaring data di perlukan format pengkajian yang didalamnya berisi : identitas pasien, alasan masuk rumah sakit, faktor predisposisi, pemeriksaan fisik, psikososial, status mental, kebutuhan persiapan pulang, mekanisme koping, masalah psikososial, lingkungan pengetahuan, maupun aspek medik.
1) Identitas Klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, tanggal MRS (Masuk Rumah Sakit), informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat klien
2) Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi kurang atau tidak ada, berdiam diri dikamar, menolak interaksi dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan sehari – hari, dependen.


3) Faktor predisposisi
Kehilangan, perpisahan, penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan / frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial. Terjadi trauma yang tiba tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan dicerai suami, putus sekolah, PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi (korban perkosaan , tituduh KKN, dipenjara tiba – tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai klien atau perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.
4) Aspek fisik / biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan , TB, BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh klien.
5) Asfek Psikososial
a) Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b) Konsep diri
(1) Citra tubuh :
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh, persepsi negatip tentang tubuh Preokupasi dengan bagia tubuh yang hilang, mengungkapkan keputus asaan, mengungkapkan ketakutan.
(2) Identitas diri
Ketidak pastian memandang diri , sukar menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan .
(3) Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit , proses menua , putus sekolah, PHK.
(4) Ideal diri
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya : mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
(5) Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri , rasa bersalah terhadap diri sendiri , gangguan hubungan sosial , merendahkan martabat , mencederai diri, dan kurang percaya diri.
c) Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubunga sosialdengan orang lain terdekat dalam kehidupan, kelempok yang diikuti dalam masyarakat.
d) Kenyakinan klien terhadap tuhan dan kegiatan untuk ibadah ( spritual)
6) Status Mental
Kontak mata klien kurang atau tidak dapat mepertahankan kontak mata, kurang dapat memulai pembicaraan, klien suka menyendiri dan kurang mampu berhubungan denga orang lain, Adanya perasaan keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.
7) Kebutuhan persiapan pulang.
a) Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
b) Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan WC, membersikan dan merapikan pakaian.
c) Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi
d) Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat beraktivitas didalam dan diluar rumah
e) Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.
8) Mekanisme Koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan nya pada orang orang lain (lebih sering menggunakan koping menarik diri)
9) Asfek Medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapi farmakologi ECT, Psikomotor, therapi okopasional, TAK dan rehabilitas.
b. Rumusan Masalah
Pada Umumnya masalah klien saling berhubungan dan dapat digambarkan dalam bentuk phon masalah (Keliat, 2006). Agar penentuan pohon masalah dapat dipahami dengan jelas, penting untuk di perhatiakn tiga komponen utama yaitu peneyebab (Cause), masalah utama (Care Problem), dan askibat (effect).








Pohon masalah klien isolasi sosial menurut Budi Anna Keliat,2005 adalah sebagai berikut:

Resiko Perubahan Sensori-persepsi :
Halusinasi ……..



Isolasi Sosial : Menarik Diri (Core Problem)



Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

Sumber: Budi Anna Keliat, 2005
Gambar 3
Pohon Masalah Isolasi Sosial

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada klien dengan isolasi sosial berdasarkan NANDA (2005 - 2006) sesuai bagan diatas adalah sebagai berikut:
a. Isolasi sosial
b. Gangguan konsep diri Harga Diri Rendah.
c. Defisit perawatan diri
d. Resiko Perubahan Sensori-persepsi : Halusinasi
3. Perencanaan Keperawatan
Rencana Tindakan keperawatan ini terdiri dari tiga aspek yaitu : Tujuan Umum berfokus pad penyelesaian suatu Permasalahan (P) dari diagnosa tertentu. Tujuan khusus berfokus pada Etiologi (E) dari diagnosa tertentu. Rencana tindakan ini disesuaikan dengan standar Asuahan Keperawatan Jiwa denagn karakteristik tindakan berupa : tindakan psikoteraupetik, pendidikan kesehatan, perawatan mandiri dan aktifitas hidup sehari-hari, serta terapi modalitas kesehatan tindakan kolaborasi dan perawatan berkelanjutan (Keliat, 1999).
Rencana tindakan keperawatan terdiri 3 asfek utama yaitu :
a. Tujuan umum
Berfokus pada penyelesaian permasalahan dari diagnosa. Tujuan umum dapat dicapai jika serangkaia tujuan khusus dapat dicapai.
b. tujuan khusus
Berfokus pada penyelesaian etiologi dari diagnosa. Tujuan khusus merupakan rumusan kemampuan klien yang perlu dicapai atau dimiliki klien .umumnya kemampuan pada tujuan khusus dapat dibagi menjadi 3 aspek (Stuart & Sundeen ,1995) yaitu : kemampuan kognitif yang diperlukan untuk menyelesaikan etiologi dari diagnosa keperawatan ,kemampuan psikomotor yang diperlukan agar etiologi dapat selesai dan kemampuan afektif yang perlu dimiliki agar klien percaya akan kemampuan menyelesaiakan masalah.
c. Rencana tindakan keperawatan
Tindakan keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dapat mencapai tujuan khusus. tindakan keperawatan menggambarkan tindakan keperawatan mandiri, kerjasama dengan klien, keluarga, kelompok dan kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa lainnya.
Dalam tahap ini perawat menggunakan keterampilan pemecahan masalah dan menetapkan masalah pada pasien.
a. Diagnosa I : Isolasi sosial
1) Pasien
Strategi Pelaksanaan 1 Pasien (SP1 P)
a) Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien.
b) Mendiskusikan dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain.
c) Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian berinteraksi dengan orang lain.
d) Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan orang lain
e) Menganjurkan pasien memasukan kegiatan latihan berbincang-bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian.
Strategi Pelaksanaan 2 Pasien (SP2 P)
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
b) Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekan cara berkenalan dengan orang lain.
c) Membantu pasien memasukan kegiatan latihan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian.
Strategi Pelaksanaan 3 Pasien (SP3 P)
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
b) Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekan cara berkenalan dengan dua orang atau lebih.
c) Menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal kegiatan harian.
2) Keluarga
Strategi Pelaksanaan 1 Keluarga (SP1 K)
a) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien.
b) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami pasien beserta proses terjadinya.
c) Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosial.
Strategi Pelaksanaan 2 Keluarga (SP2 K)
a) Melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien dengan isolasi sosial.
b) Melatih keluarga mempraktekan cara merawat lansung kepada pasien isolasi sosial.
Strategi Pelaksanaan 3 Keluarga (SP3 K)
a) Membantu keluarga membuat jadwal aktifitas di rumah termasuk minum obat (discharge planning)
b) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
b. Diagnosa II: Harga Diri Rendah
1) Pasien
Strategi Pelaksanaan 1 Pasien (SP1 P)
a) Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dialami pasien.
b) Membantu pasien menilai kemampuan yang masih dapat di gunakan.
c) Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai kemampuan klien.
d) Melatih pasien sesuai kemampuan yang dipilih.
e) Memberikan pujian yang wajar terhadap keberhasilan pasien.
f) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Strategi Pelaksanaan 2 Pasien (SP2 P)
a) Mengevaluasi jadwal harian pasien.
b) Melatih kemampuan kedua.
c) Menganjurkan pasien memasukkandalam jadwal kegiatan harian.
2) Keluarga
Strategi Pelaksanaan 1 Keluarga (SP1 K)
a) Mendiskusikan masalah yang di rasakan kelurga dalam merawat pasien.
b) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala Harga Diri Rendah yang dialami pasien beserta proses terjadinya.
c) Menjelaskan cara merawat pasien Harga Diri Rendah.
d) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Strategi Pelaksanaan 2 Keluarga (SP2 K)
a) Melatih keluarga memprakktekan cara merawat pasien dengan Harga Diri Rendah.
b) Melatih keluarga memprakktekan cara merawat lansung kepada pasien Harga Diri Rendah.
Strategi Pelaksanaan 3 Keluarga (SP3 K)
a) Membantu keluarga membuat jadwa aktifitas dirumah termasuk minum obat (discharge plannig)
b) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
c. Diagnosa III : Defisit perawatan diri
1) Pasien
Strategi Pelaksanaan 1 Pasien (SP1 P)
a) Menjelaskan pentingnya kebersihan diri.
b) Menjelaskan cara menjaga kebersihan.
c) Membantu pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri.
d) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Strategi Pelaksanaan 2 Pasien (SP2 P)
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
b) Menjelaskan cara makan yang baik.
c) Membantu pasien mempraktekkan cara makan yang baik.
d) Menganjurkan paien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Strategi Pelaksanaan 3 Pasien (SP3 P)
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
b) Menjelaskan cara eliminasi yang baik.
c) Membantu pasien mempraktekkan cara eliminasi yang baik
d) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
2) Keluarga
Strategi Pelaksanaan 1 Keluarga (SP1 K)
a) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien.
b) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala Defisit Perawatan Diri serta jenis defisit perawatan diri yang dialami pasien beserta proses terjadinya.
c) Menjelaskan cara merawat pasien defisit perawata diri.
Strategi Pelaksanaan 2 Keluarga (SP2 K)
a) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan defisit perawatan diri.
b) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat langsung kepada pasien defisit perawatan diri.
Strategi Pelaksanaan 3 Keluarga (SP3 K)
a) Membantu keluarga membuat jadwal aktifitas dirumah termasuk minum obat (discharge planning)
b) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan, pada situasi nyata, implementasi, sering kali jauh berbeda dengan rencana. Hal itu terjadi karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan tindakan keperwatan.
Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah di rencanakan, perawat perlu mengvalidasi dengan singkat, apakah rencana tindakan masih sesuai dengan yang dibutuhkan oleh klien saat ini. Pada saat akan melaksanakan tindakan keperwatan, perawat harus membuat kontrak dengan klien yang isinya menjelaskan apa yang akan dikerjakan dan peran serta yang diharapkan dari klien, kemudian tindakan tersebut didokumentasikan (Keliat, 2006)
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi tindakan keperawatan merpukan suatu proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan keperawatan yang teah dilaksanakan. Evaluasi tindakan keperawatan jiwa dibagi dua yaitu: 1). Evaluasi proses atau formatif yang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, 2). Evaluasi hasil atau sumatid yang dilakukan dengan membandingkan antara respon klien dengan tujaun khusus serta umum yang telah ditentukan.

1 komentar: